Rojali dan Rohana Cermin Kebutuhan Sosial hingga Pencitraan Diri

Fenomena Rombongan Jarang Beli (Rojali) dan Rombongan Hanya Nanya (Rohana) di pusat perbelanjaan akhir-akhir ini, ramai diperbincangkan belakangan ini. Kebutuhan sosial, aktualisasi, hingga pencitraan diri menjadi faktor yang melatarbelakangi fenomena ini.

Dosen Psikologi Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Ratna Yunita Setiyani Subardjo menjelaskan ada beberapa faktor yang melatarbelakangi fenomena Rojali dan Rohana. Pertama, kebutuhan sosial, dimana manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain, dan pusat perbelanjaan dapat menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan ini. 

Kedua, aktualisasi diri, pada beberapa orang mungkin mengunjungi pusat perbelanjaan untuk menunjukkan status sosial atau untuk merasa bagian dari kelompok tertentu. “Ketiga, pencitraan diri, sebagian orang mereka berpura-pura tertarik membeli suatu barang demi menciptakan kesan positif di mata orang lain. Kita kan ingin punya kesan positif dan merasa paling besok lagi orangnya sudah lupa atau gak ketemu,” jelas Nita, Sabtu (2/8/2025).

Nita mengatakan terkadang orang ingin memperoleh kesan positif dari orang lain, bahwa seseorang itu punya eksistensi untuk berbelanja meski hanya sekedar lihat dan nanya. “Toh lihat dan nanya hari ini, belum tentu tidak beli seterusnya,” kata Nita.

Di sisi lain ada kalanya karena memang kemampuan ekonomi sedang terbatas, maka perlu saving money atau ingin membandingkan harga di beberapa tempat. Terkadang pula ujungnya tidak jadi membeli, karena kemudian menyeleksi dan dirasa barang tersebut tidak penting atau tidak diperlukan.

“Daya beli kita itu akan menurun kalau saya mau beli sesuatu penuh dengan berbagai pertimbangan. Ini gak hanya berkesan negatif sebetulnya, tapi juga positif. Sebab saving money ini justru membuat kita lebih berhemat. Sekedar hiburan juga bisa bagi mereka yang penat di rumah, melakukan kontak sosial dan komunikasi bertemu orang lain dan menanyakan sesuatu menjadi satu healing tertentu agar kita tetap merasa ada kontak sosial dengan yang lainnya. Jadi sebenarnya bisa juga masuk sebagai satu hiburan bagi kita secara personal,” ungkap Nita.

Pelajaran dari Fenomena Rohana dan Rojali

Nita mengungkapkan tren Rojali dan Rohana memberikan beberapa pelajaran penting bagi masyarakat, khususnya terkait kematangan dalam bersosialisasi. Matang bukan hanya soal perkembangan dan kepribadian orang saja, tapi matang dan dewasa dalam bersosialisasi juga diperlukan agar langgeng dan komunikasi dengan lainnya didasarkan dengan pemenuhan saling mengerti menerima dan menguntungkan. 

“Beberapa hal yang bisa kita ambil sebagai manfaat atau pelajaran tren Rohana dan Rojali, pertama tentang konsumsi dan eksistensi. Fenomena ini menunjukkan bahwa konsumsi dan eksistensi tidak hanya tentang membeli barang, tetapi juga tentang bagaimana menunjukkan diri kita di depan orang lain,” kata Nita.

Kedua, tentang citra sosial. Citra sosial kita tidak hanya terbentuk dari apa yang dimiliki, tetapi juga dari bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan menunjukkan diri di media sosial. “Ketiga, tentang empati dan pemahaman. Fenomena ini menunjukkan bahwa kita perlu lebih empati dan memahami makna sosial di balik perilaku orang lain, bukan hanya melihat dari sisi ejekan atau sindiran,” tutur Nita.

Nita mengajak melihat fenomena ini secara lebih bijak dan tidak semata dari sisi ejekan untuk mengikuti latah sosial dan egosentrisme saja. Perlu memahami bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dan motivasi yang berbeda-beda, dan perlu lebih empati dan memahami satu sama lain sih. “Sebab sebaik-baik umat adalah yang bisa merasakan kalau orang lain sakit. Ya kita memahami bahwa sakit ya dibeginikan, jadi jangan lakukan,” ungkap Nita.

Nita menyebut untuk fenomena serupa di masa depan diyakini masih akan ada. Terus muncul dalam bentuk-bentuk baru. Ia memberi gambaran seperti virus, setelah ada penawarnya seperti vaksin, akan bermetamorfosa. “Perilaku manusia juga demikian, berkembang dan berkembang sesuai zaman, terutama dengan perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen. Kita perlu terus memantau dan memahami perubahan-perubahan ini untuk dapat beradaptasi dan berkembang secara harmoni saja, biar tetap sehat mental,” tutup Nita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pameran Produk Pangan Inovatif Mahasiswa Gizi UNISA Yogyakarta 2025: Transformasi Pangan Lokal Berbasis Teknologi

AVO UNISA Borong 3 Emas di IBCF 2024

Mahasiswa Arsitektur UNISA Yogyakarta Pamer Desain Playground Kreatif, Siap Lahirkan Arsitek Inovatif