Awas Brain Rot Mengintai Anak Muda!

Kemajuan Artificial Intelligance (AI) telah berlangsung sangat pesat dan berpengaruh di hampir seluruh sendi kehidupan manusia. Hal ini sejalan dengan penggunaan internet sebagai media komunikasi dan searah dengan kemunculan smartphone dengan berbagai fitur canggih yang terupgrade setiap harinya. Seolah dengan menggenggam smartphone seluruh kebutuhan hidup sehari-hari dapat dipenuhi dengan mudah melalui transaksi online. Hal ini mengakibatkan banyak generasi muda yang tidak dapat lepas dari smartphonenya bahkan sebagian telah mengalami nomophobia (ketakutan jika smartphone jauh dari genggamannya).

 


Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tingkat penetrasi penggunaan internet di Indonesia telah mencapai 79,5% dari total populasi penduduk di Indonesia sebesar 278 ribu jiwa lebih. Dimana penggunanya didominasi oleh kaum milenial sebesar 30,62% dan Gen Z sebesar 34,40%. Platform digital yang sering banyak digunakan adalah media sosial, seperti: Facebook, Instagram, Youtube, dan Tiktok. Sementara itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh GWI pada awal tahun 2024 diperoleh data bahwa rata-rata orang Indonesia dalam sehari menggunakan internet selama 7 jam 38 menit dan scrolling media sosial selama 3 jam 11 menit. Penggunaan waktu layar yang hampir separuh hari ini telah membawa dampak positif, yaitu AI membuat kehidupan sehari-hari menjadi mudah. Namun demikian, dampak buruk yang ditimbulkan jauh lebih besar, yaitu munculnya fenomena Brain Rot.

Brain Rot

Secara harfiah Brain rot berarti "pembusukan otak", namun dalam psikologi modern dan neurosains populer, istilah ini digunakan untuk menggambarkan penurunan fungsi kognitif, perhatian, dan emosi akibat konsumsi konten digital dangkal dan berlebihan, terutama dari media sosial dan video pendek seperti TikTok, YouTube Shorts, dan Reels (Newport, 2019). Doomscrolling (scrolling tanpa henti) bisa menyebabkan atrofi neuroplastik, yaitu penurunan konektivitas saraf dan kemampuan adaptif otak akibat kurangnya stimulasi bermakna (Turner, 2023).

Hal ini juga berdampak pada kesehatan mental para pengguna media sosial secara berlebihan, yaitu: menurunnya fokus dan konsentrasi, gangguan regulasi emosi, kecanduan digital dan dopamine, menurunnya kemampuan berpikir kritis, serta beresiko mengalami kecemasan dan depresi. Tidak sampai disitu saja, efeknya bukan hanya jangka pendek, melainkan juga berdampak pada jangka panjang. Ditinjau dari aspek biologis, paparan layar berlebih di malam hari diketahui mengganggu kualitas tidur, dan gangguan tidur ini menjadi faktor mediasi yang memperburuk gejala kecemasan dan depresi pada remaja (Lee dkk, 2024). Selain itu, konsumsi konten dangkal dan berulang dapat mengaktifkan sistem saraf otonom secara tidak adaptif, membuat individu terjebak dalam mode fight/flight atau freeze, yang bisa menyebabkan kelelahan mental dan gangguan regulasi emosi (Porges, 2007).

Upaya Pencegahan

Yousef dkk (2025) dalam risetnya memaparkan strategi-strategi yang dapat diterapkan untuk mencegah terjadinya Brain Rot. Pertama, mengatur waktu layar, yaitu menetapkan batasan seperti mengurangi waktu layar harian dan menghapus aplikasi yang mengganggu atau tidak berguna. Kedua, mengkurasi umpan media, yaitu selektif memilih sumber informasi karena akan berguna untuk melindungi ruang mental mereka supaya tetap sehat dan positif. Ketiga, melakukan aktivitas non digital, seperti: bermain musik, menulis, berpetualang di luar lingkungan, atau melakukan hobi lainnya akan memberikan istirahat yang sangat dibutuhkan dari layar dan juga berfungsi sebagai pelepas stres bagi pikiran dan emosi. Terakhir, membina dukungan sosial dan terlibat dalam kegiatan masyarakat, karena dengan terlibat dalam jejaring sosial yang positif akan membantu mengurangi perasaan terisolasi dan kesepian.

Merujuk pada gagasan AI pertama kali yang dikemukakan oleh John McCarthy (1956), sudah semestinya AI diciptakan oleh manusia untuk membantu manusia supaya dapat menjadi fully function person bukan untuk melemahkan eksistensi manusia. Penggunaan AI yang tepat dan bijaksana akan membawa manusia pada kesejahteraan digital.

Dr. Komarudin, M.Psi.,Psikolog

Dosen Prodi. Psikologi Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pameran Produk Pangan Inovatif Mahasiswa Gizi UNISA Yogyakarta 2025: Transformasi Pangan Lokal Berbasis Teknologi

UNISA Yogyakarta Jadi Tuan Rumah Kongres APTSA ke-12: Tingkatkan Kolaborasi Fisioterapi Asia

AVO UNISA Borong 3 Emas di IBCF 2024